Mendadak Jadi Guru

Saya merasa bahwa sejatinya setiap dari kita adalah guru. Secara naluriah kita cenderung punya kemampuan untuk mengajarkan sesuatu kepada orang lain. Bahkan istilah 'menggurui' pun jadi sesuatu yang sering kita dengar, ya, kan. Kelewat mengajari. Walau istilah ini membuat orang lain merasa kesal. Tapi ini jelas menegaskan bahwa kita semua berbakat jadi guru.

Mungkin di situlah letak perbedaan antara orang yang mengambil peran sebagai guru untuk profesinya, dengan guru-guru lainnya. Khusus yang terakhir, biasanya kemampuan seseorang untuk menggurui bisa tak terkontrol atau tak stabil. Seperti pembahasan di awal, bisa baik sekali, atau bahkan sebaliknya, ‘menggurui’. Tentu ini berkaitan dengan 'ilmu' yang di dalamnya meliputi seluruh aspek termasuk 'seni' menjadi seorang guru. Tidak baku memang, tapi kurang lebih seperti itu. Jangan merasa pintar, tanpa ilmu. Karena semua ada ilmunya.


Sebenarnya ini sesi curhat. Saya yang termasuk salah satu di antara kelompok bukan profesi guru, masih jauh dari ilmu terkait keguruan, kemudian tercemplung ke dalamnya. Mendadak jadi guru. Tidak sepenuhnya guru kelas, yang dari senin sampai sabtu, mulai bel masuk berbunyi sampai berderingnya menandakan waktu pulang, berada di sekolah. Saya hanya di sekolah untuk satu ruang kelas, dengan durasi kurang dari dua jam, sepekan sekali. Kendatipun tidak seperti guru sejati, maksudnya guru kelas tadi, tapi melakukan rutinitas kontinyu sebagai guru ini, membuat saya merasakan eksperimen menjadi guru yang ternyata, berjuta rasanya.




Seakan-akan baru kemarin masuk pesan singkat itu, meminta saya mengisi kelas ekskul menulis. Sebenarnya sebelum ini saya juga asisten ekskul panahan. Ya, hanya mendampingin pelatih, pun ini kelas olah raga yang sifatnya praktik. Tidak banyak teori. Tepat setelah saya memutuskan untuk istirahat sejenak sebagai asisten pelatih, kemudian tawaran ini hadir. Memang jodoh tak akan kemana, ya. Langsung nyambar kalau sudah waktunya. Serasa tak punya alasan untuk menolak kala itu, sayapun menguatkan hati untuk berani mengambil tanggung jawab istimewa ini. Menjadi guru. 


Memang, secara sadar saya merasa bahwa saya tipe orang yang berbahagia jika mampu menjelaskan sesuatu kepada orang lain. Menyaksikan bagaimana seseorang kemudian menjadi paham hal yang sebelumnya terasa membingungkan, itu menyenangkan sekali. Tapi hanya sampai di sana, tidak kemudian disertai dengan kerepotan mengumpulkan bahan ajar, mengolah materi dan seterusnya yang saya jalani saat ini. Benar-benar level up dari peran 'guru' yang pernah saya ambil.


Menyederhanakan ilmu kepenulisan untuk siswa SMP adalah hal yang begitu menantang, belum lagi mengajar itu sendiri yang sebenarnya masih jadi PR buat saya. Permasalahan dasar seperti teknis menulis yang belum dikuasai, ditambah dengan proses kreatif menulis yang juga jadi masalah besar bagi anak seusia mereka yang minim asupan ide. Baik dari sumber bacaan, apalagi pengalaman hidup. Plus hal-hal teknis lainnya yang ternyata juga menjadi kerikil-kerikil sepanjang proses mengajar.


Hampir setiap hari, saat ditanyakan kabar dan kondisi hati, anak-anak akan menjawab dengan lantang bahwa mereka capek, kesal, malas, bosan dan lain-lain. Jadi membangun mood kelas adalah tugas utama yang harus diatasi, alih-alih mengejar materi dan target pencapaian. Dengan berbagai rangsangan yang disiapkan dalam tiap sesi kelasnya, menggali kemampuan untuk menemukan ide dan menuangkannya dalam bentuk tulisan adalah tujuan akhir yang diharapkan. Bagaimana anak-anak bisa sadar bahwa ide tulisan itu sangat dekat dan berada di sekitar mereka. Maka jika kepekaan sudah terasah, menulis apa yang dilihat, dirasa, di dengar, dialami akan jadi lebih mudah. 




Semester baru di tahun baru, 2023. Tak terasa ternyata terselesaikan tugas dadakan menjadi guru selama satu semester di tahun lalu. Hari kamis yang selalu penuh warna bersama anak-anak istimewa di kelas menulis, dengan beragam karakter dan tindak tanduk. Bersyukur sekali karena kelas saya adalah kelas yang diisi oleh siswa perempuan. Walaupun tetap terasa nano-nano, cukup rasanya untuk level ini. 


Hari pertama kelas di awal semester, saya disapa dengan energi dari wajah-wajah manis yang membuat hari keempat disetiap pekan itu jadi sesuatu yang dinanti. Menyadari bahwa anak-anak ini bertumbuh, secara kemampuan menulis maupun karakter, itu adalah hadiah yang tak terkira. Yang awalnya sulit sekali mengeluarkan suara, saat ini mulai berani melakukan banyak interaksi. Yang ketus dan acuh tak acuh, mulai sedikit melunak dan bisa diajak kerjasama. Yang awalnya selalu bilang 'gak tahu' setiap coba digali tentang ide tulisan, saat ini mulai paham bagaimana mengumpulkan informasi untuk tulisannya. 


Ah, ternyata begitu manis tiap proses-proses kecil yang kita lalui bersama. Anak-anak Ustadzah, semoga kita bisa terus bersama mengisi hari Kamis manis di setiap pekannya dengan lebih berwarna, ya. Bekerjasamalah, sebab tugas dan tanggung jawab yang melekat pada masing-masing kita. Walau berat, dan penuh ketidaknyamanan belajar di jam-jam istirahat siang, tapi kita harus bisa mengatasinya dengan prasangka baik dan saling percaya satu sama lain.


Setiap yang terbuka, pasti akan menerima.


Maka bukalah dengan niat baik hati kalian, untuk menerima, walau sedikit, dari apa yang bisa ustadzah berikan di dalam kelas. Begitupun sebaliknya, Ustadzah selalu berusaha membuka hati dan meluruskan niat dalam setiap pertemuan. Karena Ustadzah juga sedang belajar dan ingin mendapatkan banyak hal dari kalian. 





 

Comments

  1. sulit-sulit bersyukur kalau menekuni profesi guru kan kak,.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Setuju, butuh keahlian khusus menaklukkan kelas, setiap hari 🤗

      Delete

Post a Comment

Popular Posts