Bisakah Manusia Merasa Cukup?

Sepertinya semua hal dalam hidup ini ada batasnya, ya. Tapi untuk kemudian merasa cukup, apa manusia sebenarnya bisa merasa cukup?!

"Bisa dong!"

Foto: Pinterest 

Pesan singkat masuk, seseorang merespons pertanyaan pada unggahan story-ku tentang, merasa cukup. Tentu jawabannya bisa iya, atau tidak. Tapi lebih dari itu, aku ingin mendengarkan argumentasi tentang pilihan jawaban yang muncul. Kegabutan siang itu kemudian diisi dengan obrolan renyah lewat pesan suara. Asli, ini orang suaranya selevel penyiar nasional, gurih sekali 😎

''kondisi seperti apa yang bisa menginterpretasi sikap cukup?" Tanyaku penasaran. 

"Bagi aku sendiri, aku selalu berupaya merasa cukup dengan apa yang aku punya, misalnya barang-barang yang aku punya, pakaian, gadget. Dan aku tidak akan mengganti itu semua jika memang tidak dibutuhkan. Seperti itulah bentuk cukup, ya, kan?" Jawaban yang tidak kuprediksi sebelumnya.

Cukup yang ada di kepalaku dalam kapasitas besar, malah dipangkas menjadi, sangat, sederhana. 

Tadinya kupikir merasa cukup selalu terkait atas pengendalian diri untuk menjauh dari keserakahan dan ambisi yang tak terkendali, pada hal-hal yang besar pula. Karena memang itu yang dengan mudah terlihat dipermukaan. Tapi, toh, benar. Cukup yang terasa besar dan berat bagi itu sebenarnya, ya, karena kita mungkin tidak membuat batas cukup mulai dari urusan kecil di kehidupan ini. 

Kebiasaan membeli barang hanya karena sedang ada diskon, misalnya. Atau kebetulan lewat etalase toko dan melihat barang lucu nan menggemaskan, lalu tergoda untuk membeli, padahal sadar tidak membutuhkannya! Nah, yang lebih parah lagi mungkin soal omongan, ya. Walau sudah tahu sebenarnya lebih dari cukup untuk menyerocos gak karuan, malah semakin digoreng, digongseng dengan gosip-gosip manis dan kebohongan yang, sadar atau tidak, keluar tanpa kendali dari mulut. Manusia yang sulit menetapkan batas cukup, tercermin dari sini juga, kan?!

Jika untuk urusan yang kita jalani sehari-hari saja masih begitu sulit mencukupkan diri, lalu apa kabar dengan cukup yang lebih besar! Sudah barang tentu jadi PR yang tidak akan mudah. 

"Terus, buatku, cukup itu juga sangat berkaitan dengan tingkat kebahagiaan dan kepuasan atas apa yang kita miliki, ya. Kalau kita tidak meletakkan kebahagiaan di luar diri kita, maka akan lebih bagus." Menarik.

Cukup memang tidak akan bisa sama antara orang yang satu dan lainnya. Pertanyaan berikutnya, bagaimana cara menggenapkan cukup?

"Nah, kalau kebahagiaan itu diletakkan di luar diri, itu yang biasanya juga mendorong orang untuk menjadi lebih konsumtif. Misal, seseorang baru akan merasa bahagia ketika punya Handphone baru, merasa healing atau tenang ketika liburan. Menurutku faktor kebahagiaan diri juga teramat penting dipahami." Setuju sekali dengan ini. 

Kadang kita terobsesi pada sesuatu sampai-sampai rasanya akan begitu membahagiakan jika mendapatkannya. Eh, pas dapat, tentu bahagia, tapi ada rasa yang 'oh, begini, iya. Biasa saja.' 😂 Ini kemudian mengulang pola yang sama dengan dalih, mencari kebahagiaan, di luar diri. 

Bahagia itu mindset, gak sih? Bisa kita kendalikan. Tidak seratus persen, tapi tetap ada andil dari diri untuk kemudian memutuskan merasa bahagia atau tidak. Bukan perkara hal-hal di luar diri yang sejatinya bisa terus berkembang tak terkendali. Tentu, kita hanya bisa dan punya kewajiban mengendalikan diri sendiri. Serupa dengan cukup. 

Cukup itu sebuah keputusan yang diambil untuk kemudian berhenti di satu titik, cukup. 


Dan semua, dari apa yang kita punya akan mengarah pada tujuan yang sama, mencukupkan.

Merasa cukup akan lebih cepat muncul ketika seseorang mengenal dirinya. Semakin paham, maka akan semakin mudah. Ini sangat terpengaruh dengan lingkungan dan doktrin pendidikan keluarga. Pun, tidak bisa dipungkiri dilatarbelakangi dengan pengetahuan yang dimiliki. Pola pikir dan pola tindak setiap orang pasti berlandaskan kedua hal tersebut. 

Seberapa berani kamu memadakan cukup? Mungkin akan setara dengan seberapa dalam kamu mengenal dirimu sendiri! 


Kak, Dan. Terimakasih telah membuka sudut pandang tentang cukup yang menimbulkan banyak tanya belakangan ini. Btw, itu suara bisa enak di dengar gitu, rahasianya apa yaa kak?! 🤗






Comments

  1. Apakah cukup bisa juga sebagai rasa syukur?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mencukupkan diri, sebagai bentuk syukur? Sepertinya iya.

      Delete
  2. Cukup yang dibungkus sederhana, namun begitu sarat makna ❤

    ReplyDelete
    Replies
    1. Cukup yang sebenarnya tak akan pernah bisa jadi 'sederhana' 😊

      Delete

Post a Comment

Popular Posts