Superiority Complex, Rasa Percaya Diri Berlebihan?!

Pernah gak kamu ketemu orang yang pembawaannya kepedean baget, sampe 'eneg ngeliatnya. Selalu merasa kalau dirinya, pendapatnya, keberadaannya menjadi sesuatu yang penting. Ngeselin gak sih, punya teman yang seperti itu?

Jadi aku dulu pernah punya rekan kerja yang bawel sekali. Kalau ngomong itu selalu ngegas, pokoknya pendapatnya adalah sesuatu yang harus didengarkan. Dia gak akan peduli bagaimana perasaan orang tentang prilakunya, yang bagi dia ya begitu adanya. Selalu ingin jadi lebih unggul di setiap kondisi. Kalau di nasehatin selalu ada kalimat penegasan paling keki yang keluar dari mulutnya, 

"aku ya memang seperti ini adanya, mau gimana lagi!"

Oh, what?! Deklarasi yang menggemaskan. Kalau sudah sampai begitu statement seseorang, berat memang. Karena masalah ada antara dia dan dirinya sendiri. Sulit bagi kita orang luar untuk bisa mengubahnya.

Ada istilah Superiority Complex, dimana seseorang merasa bahwa mereka selalu superior. Orang seperti ini punya penilaian berlebihan atas dirinya sendiri. Kebenaran yang dipahaminya selalu menjadi kebenaran mutlak untuk semua orang. 

Bukankah menjadi beban hidup seperti itu? Berusaha tampil sempurna di setiap kondisi menunjukkan sisi terbaik demi menutup rapat kelemahan. Selalu ingin berada di atas orang lain. Mau mencoba jadi malaikat! 

Wah, bahaya ya. Orang-orang seperti ini cenderung menjadi buta dan tuli pada pendapat orang lain. Merasa tidak perlu beradaptasi dengan kondisi sekitar, atau tidak perlu masukkan karena selalu beranggapan paling benar. Ini masalah kejiwaan sebenar. Semakin kuat Superiority Complex yang dimiliki seseorang tentu akan menjadi tidak baik untuk dirinya. 

Kalau di tilik, keadaan ini biasanya malah hanya perwujudan pertahanan diri, tameng atau kamuflase mungkin ya. Dimana seseorang menunjukkan superioritasnya untuk menutupi kekurangan-kekurangan yang dimiliki. 

Tentu manusia tidak ada yang sempurna, lalu untuk tujuan apa seseorang memaksa diri menunjukkan kesempurnaannya? Make sanse lah ya jika ini adalah pengalihan fokus saja. Sehingga orang lain hanya akan tertuju pada apa yang ditonjolkan. Bukan sisi dirinya yang lain.

Berdasarkan penelitian, ada latar belakang yang membuat seseorang mengalami kondisi ini. Bisa jadi karena pengalaman tidak menyenangkan di masa lalu, trauma, tidak mendapatkan cinta dari keluarga, atau hal buruk lainnya. Ini membuat seorang Superiority Complex kemudian menempatkan orang lain sebagainya dirinya ditempatkan. Padahal jika dilihat lebih dalam, ada penolakan yang terjadi justru di dalam dirinya.

Sebenarnya jadi kasihan ya dengan orang yang ngalamin masalah ini, walaupun pasti kesal duluan juga di awal. Mungkin jika kita sekarang menjadi tahu dan bisa menerima bahwa 'mereka' sebenarnya adalah orang-orang yang perlu diberikan cinta. Sehingga dengan memberikan kasih sayang bisa melunakkan hati yang keras. Eh, sebenarnya bisa atau tidak ya begitu? 😂

Paling penting dari kesemuanya adalah mengoreksi diri sendiri. Apakah kita, sadar atau tidak melakukan perilaku serupa? Karena biasanya gampang terlihat tindakan tidak menyenangkan orang lain, sedangkan kita sendiri tidak punya keberanian untuk bercermin.

Mungkin perlu kembali menyadari bahwa tidak ada manusia yang sempurna, begitupun diri kita. Juga paham bahwa setiap orang punya hak yang sama untuk diperlakukan dengan baik. Dan, yang paling penting, perlakuanlah orang lain sebagaimana diri kita ingin diperlakukan. 

Hidup manusia sebagai makhluk sosial adalah berkumpul dengan orang lain, atau minimal perlu orang lain dalam menjalani kehidupan. Dengan Superiority Complex ini, tentu akan menjadi sulit bagi siapapun diterima oleh lingkungan. Lebih mudah menemukan musuh daripada teman, dan cenderung diinggirkan dalam pergaulan. 




Ayolah jadi manusia manis yang selalu tersenyum dan lembut budinya. Pun jika kamu secara karakter memang keras, biarkan rasa yang bicara. Bukankah rasa tidak pernah bohong? Bukan iklan 🤭


 


Comments

Popular Posts