Uang Kecil dan Masalah Besar di belakangnya
Kemarin, ada momen yang memaksaku merenung dan bertanya pada diri, apakah salah sudut pandang ini! Sebab terlalu sering aku melihat sebuah kondisi dari angle yang berbeda dari orang-orang.
Berawal dari status seorang teman tentang kasus uang kembalian, yang oleh banyak penjual diganti dengan permen dengan alasan tidak ada uang kecil. Temanku dengan sigap menimpali,
"bagaimana jika ibu mengurangi belanjaan saya saja senilai uang kembalian yang ibu punya. Jadi saya tidak menerima permen sebagai pengembalian."
Jelas kalimat ini adalah negosiasi. Bukan sekedar penjual tentu yang punya hak menentukan bagaimana akhir kisah uang kecil itu. Masih mending, karena biasanya tak jarang ungkapan kecewa muncul perkara permen yang kemudian jadi koleksi baru warna-warni sepulang belanja, sebab beda toko beda merk di meja kasir. Padahal biaya parkir dan kebutuhan lain tetap harus dibayar dengan uang, kan!
Sembari menunggu antrian mukena yang terbatas, bincang soal cese ini semakin panjang pula. Satu persatu kekesalan muncul berdasarkan pengalaman yang dialami hampir setiap harinya. Aku mendengar sekilas dan tak berani menimpali. Selesai sholat aku berjalan perlahan meninggalkan tempat perkara kejadian penghakiman, mencari kesibukan lain. Bukan apa-apa, soalnya aku punya pandangan berbeda terkait isu ini. Tidak akan aman posisiku bicara di sana, di tengah sidang terbuka yang penuh emosi.
Dari sepuluh kasus yang berkaitan dengan uang kembalian sepanjang ingatanku, sepertinya hanya dua di antaranya yang membuatku merasa keberatan mengikhlaskan sisa uang pada si penjual. Satunya terjadi karena aku kesal dengan sikap penjualan yang berlagak seperti preman yang sedang memalak mangsanya. Satunya lagi karena aku tidak punya uang lain, berharap sisa uang itulah yang akan diberikan kepada tukang parkir yang sudah menjamin kendaraanku tetap nyaman dikendarai sebab jok tidak tersengat matahari langsung. Selebihnya malah aku tidak pernah merasa keberatan dengan sedikit uang yang akhirnya harus diberikan kepada penjual atau petugas parkir.
Karena masih merasa mengganjal, malamnya aku berbagi cerita ini dengan adik perempuanku. Beliau ibu muda dengan satu orang anak. Tujuanku sebenarnya ingin mencoba melakukan pendekatan, dengan situasi yang lebih santai, aku berharap bisa memahami maksud kekesalan teman-temanku yang kuanggap berlebihan tadi sore lewat emak-emak yang lebih sering belanja daripadaku ini.
"Kamu dek, kalau belanja terus gak ada kembalian biasanya bagaimana? Apa ikhlas dikasi sisanya ke penjual?"
Di awal perbincangan dia bilang kesal dan melakukan penolakan. Tapi perlahan, kemudian ada respons berbeda yang muncul.
"Sebenarnya, kadang aku juga sering ngasi uang berlebih ke tukang parkir, tanpa diminta. Atau mengambil garam misalnya untuk menggenapi belanjaanku. Pun di minimarket, jika memang tidak ada kembalian, aku lebih suka mengambil sosis atau coklat ketimbang permen. Karena aku tahu aku suka itu."
Apa yang aku serap dari perbincangan di depan warung bakso bang Basir yang masih saja ramai malam itu adalah,
Bukan soal nilai uangnya. Tapi lebih kepada nilai diri kita sebagai pemberi atau nilai si penjual sebagai penerima.
Tentu ada nilai-nilai yang ingin kita sampaikan secara langsung atau tersirat. Misalnya kita kecewa, kesal, marah, dengan oknum yang dengan mudahnya menggunakan kalimat 'tidak ada uang kecil' untuk mengambil keuntungan atas diri kita. Inilah yang mendorong kita menunjukkan nilai diri kita dalam sebuah sikap, misalnya :
- Bermuka masam kemudian penuh kesal dan menerima permen sebagai kembalian
- Menimpali penolakan dengan kalimat tegas dan mengintimidasi. Seketika menjadi guru killer dan memberi omelan panjang kali lebar
- Tetap tersenyum dan berkata lembut tapi dengan sindiran setajam silet, atau
- Dengan lapang hati memutuskan tersenyum tulus dan berkata, "ambil saja kembaliannya"
Bukan soal sikap mana yang benar atau salah. Tapi ini kembali pada pribadi masing-masing. Kamu dengan sikap yang kamu pilih tentu berusaha menunjukkan nilai dirimu, dengan sadar bahwa kamu pulalah yang akan mendapatkan hasil dari nilai itu.
Apakah ini bisa disamakan dengan,
'serupa niat, serupa itu pula nilai dari pahalamu'.
Hanya kamu yang tahu niat dan maksud dari sikap yang kamu tunjukkan. Soal benar dan salah bisa jadi begitu relatif di sini. Selama kamu sudah yakin kamu melakukan yang benar, yang seharusnya dilakukan, paham maksud dan tujuan kamu melakukannya, semua menjadi urusan antara kamu dan Tuhan.
Kembali pada penantian untuk dua bungkus bakso larva yang panjang, adikku memberikan closing statement yang tidak kuduga,
"mungkin kan kak, memang ada orang-orang yang dilebihkan sedikit oleh Allah rasa kasih sayang dan iba di hatinya. Jadi lebih mudah tersentuh, beranggapan semua orang baik dan tidak akan berbuat buruk, walau pada hakikatnya tidak semua begitu."
Jujur aku terhenyak, aku seperti mendapatkan jawaban dari kegelisahan hati tentang pertanyaan yang mengganjal seharian. Ini bisa jadi keuntungan atau sebaliknya bagi si pemilik hati.
Dari diriku tidak sempurna ini, yang masih perlu banyak belajar tentang hidup, semoga apa yang Tuhan titipkan pada hati ini, bisa jadi sumber kebaikan dan amalan untuk kehidupan lebih baik 'nanti'.
Malam yang membahagiakan sebab plong hati dan pikiran. Ditambah bakso lava pedas dan panas sudah berada di tangan, siap di santap sesampai di rumah. Mari tutup hari ini dengan penuh syukur.


Comments
Post a Comment