Belajar Diam

Masih relevankah ungkapan, 'diam adalah emas' dikondisi saat ini?


Kalau saya masih menjunjung tinggi pribahasa ini, walau pada kenyataannya kadang sering pula kebobolan. Seperti kemarin, keasikan bicara sampai tak terasa terlewat batas perbincangan yang sewajarnya. Seorang sahabat menegur dengan lembut, membuat saya tersadar. Sepertinya perlu belajar lagi, belajar diam.

Kehidupan saat ini memang banyak memberikan kesempatan dan kebiasaan baru, salah satunya kebebasan bicara. Ada ruang yang terbuka selebar-lebarnya untuk itu. Kita dengan mudah bisa bicara, menyampaikan pendapat, berkomentar dan melakukan perdebatan publik kapan dan dimana saja. Bukan lagi 'mulutmu harimaumu' masalah saat ini, tapi 'jempol yang bekerja lebih cepat dari otak'.

Bicara itu sesuatu yang unik. Tidak semua orang suka berbicara, tapi dikondisi tentu, setiap orang bisa bicara banyak. Biasanya ikatan emosional yang mampu menciptakan kenyamanan seseorang untuk leluasa bicara, atau! Puncak emosi, alias kemarahan. Dengan kondisi ini, siapapun bisa menjadi tak terkendali, dan bicara diluar kontrol.

Seumpama minuman bersoda, semakin tinggi tekanan emosional, kita serupa mengocok dengan kuat pula air di dalamnya. Dua pilihan yang kita punya, dengan dua dampak berbeda yang akan ditimbulkannya: 

  • Pertama, langsung membuka tutup botolnya, membiarkan air tercurah keluar tanpa kendali.
  • Kedua, menunggu gelembung soda menghilang, kemudian baru membukanya. Saat itu, kita punya kontrol penuh untuk menentukan sebanyak apa air yang perlu dikeluarkan.

Tentu tidak semerta-merta semua yang ada di kepala harus dikeluarkan. Kita perlu mengambil kendali mulut, biarkan hati dan pikiran mencerna dengan baik. Sebab kata-kata selalu bisa menjadi setajam silet. Apa yang sudah dikeluarkan bukan lagi milik kita, dan penyesalan selalu datang belakangan. Bicaralah jika ada manfaat dari apa yang disampaikan, jika tidak, maka lebih baik diam. 

Rasanya, diam ada di level tertinggi ilmu, memilih diam adalah sebuah bentuk kebijaksanaan saat bicara tak lagi soal upaya untuk saling memahami. Hindari perdebatan, hindari pula aksi menunjukkan eksistensi. Orang-orang bisa melihat bahkan merasakan nilaimu tidak hanya lewat kata. Sebab ucapan seringkali jadi tunggangan setan. Kita bisa terpeleset untuk sekedar, sedikit berbohong, atau tergelincir dengan kesombongan yang tipis-tipis terucap.

Bukan kemudian bicara menjadi salah, poinnya adalah bicara jika memang perlu melakukannya, jika ada manfaat di dalamnya. Tapi akan lebih baik diam, saat terjadi perdebatan yang tidak sehat, pilihlah diam dari berkomentar buruk, berucap tanpa ilmu, bercanda dengan kebohongan untuk membuat orang lain tertawa, dan menjauh dari pembicaraan yang melampaui batas. 

Tanya diri, evaluasi setiap waktu, dari banyaknya kesempatan bicara yang dilakukan hari ini, adakah lebih banyak manfaatnya? Atau timbul setitik penyesalan di hati. Harusnya tidak mesti begitu, baiknya tidak begini, dan seterusnya. Pada dasarnya kita tahu betul mana yang baik dan tidak, hanya kadang kita mencoba menangkalnya.

Belajar diam, PR terbesar di tahun baru ini. 

Diam-diam belajar, diam-diam beramal, diam-diam menebar manfaat, diam-diam mendoakan. Diam untuk fokus memperbaiki dan mengoptimalkan kapasitas diri, menjurus ke langit. 

Diam yang keren ya!

Yuk bisa yuk. Tahun baru dan kesempatan baru. Ini akan jadi salah satu komitmen di tahun dua nol dua-dua ini. Semangat melesat menuju fokus yang lebih baik. 



Comments

Popular Posts