Sinetron Layar Lebar

Pernahkah kalian menangis di suatu kondisi, tapi sadar sepenuh hati bahwa tangisan itu sebenarnya bukanlah sebab kondisi yang sedang dialami, tapi kondisi lainnya yang menguap dari alam bawah sadar. Aku pernah, dan bukan sekali dua terjadi.



'Guru Aini', novel Andrea Hirata ini sebelumnya tak pernah benar-benar menarik minatku. Sampai suatu malam saat kami menunggu mobil penjemputan dari Kluet menuju Banda Aceh, buku itu tergeletak di depanku yang semakin bosan menunggu. Awalnya hanya kubolak-balik, baca sekilas dua kilas bagian dalamnya, sampai jenuh dan kubaca dengan tekun lembar demi lembarnya. 

Penasaran aku, kenapa belum juga kutemui nama 'Aini', yang tergambar malah seorang bernama Desi, dengan segala keunikannya menjadi begitu istimewa. Guru matematika, pengajar muda berusia 18 tahun yang dengan bangga ingin membaktikan hidupnya untuk dunia pendidikan di pedalaman Indonesia, khususnya pada pelajaran matematika. Pelajaran yang menjadi bencana intelektualitas dunia, ya, begitulah matematika yang selalu menjadi momok besar pendidikan.

Sebab tertarik aku pada karakter guru Desi ini, kucari lagi buku yang sama setibanya di Takengon. Buku yang kubaca di Kluet tertahan di Banda Aceh, buku itu memang bukan milikku. Melanjut baca kisah perjuangan guru matematika di desa Ketumbai yang menolak menerima penghargaan sebagai guru terbaik seprovinsi Sumatera Selatan, sebab tidak layak katanya, 80% siswanya masih punya rapot merah di matematika. Di sanalah ternyata terselip Aini sebagai siswa dengan nilai paling buntut di kelas asuhan guru Desi.

Halaman 180, aku memutuskan berhenti membaca dan menuliskan ini, setelah entah kali keberapa menyeka air mata, karakter Aini dan guru Desi benar-benar mengaduk-aduk emosiku. Di beberapa bagian aku tertawa, tersenyum sendiri dan kemudian berlinang air mata, om Andrea, selalu bisa melepaskan kata-kata yang ringan, gurih dan penuh rasa. Jempolan.

Aku tidak ingin menjabarkan lebih dalam buku ini, tapi aku tertarik pada hal lain yang menggerakkanku menulis. Apa sebab benar-benar begitu berhasil penulis menuangkan rasanya sampai menjadi Aini pula aku di sini. 'Sinetron layar lebar', kata guru Desi, apa-apa menangis. Menangis Aini karena ayahnya sakit, aku menangis, menangi Aini sebab ingin pandai matematika untuk bisa menjadi dokter, aku berurai air mata, terakhir Aini menangis sebab guru Desi merobek-robek kertas jawabannya yang celakanya salah semua, aku banjir air mata juga. Ai, apalah betul sebenarnya aku begitu menghayati buku ini? Atau ada emosi lain yang menunggangi, ingin keluar juga lewat bulir-bulir bening rasa ini!

Begitu rumit kadang ya, isi kepala apalagi hati manusia. Coba-coba kuat, tapi daya tampung dan kapasitas diri juga tak bisa bohong, bisa naik dan turun. Segelas susu coklat hangat, sogokan untuk diri menuju lelap malam ini. Untuk beberapa hal yang belum terselesaikan, menggantung dan sesekali menghempas ke permukaan, bagai ombak. Baiklah aku tahu kalian masih di sana, rupa-rupa rasa, terimakasih sudah begitu baik padaku. Pecah bagai buih yang lembut, kemudian hilang perlahan. Pelan-pelan saja. 

Sebagaimana guru Desi juga Aini ajarkan, yang kita perlukan dalam hidup hanyalah 'berdamai dengan takdir masing-masing'.

Comments

  1. Ai nong.. terkadang memang begitu lah kehidupan. Tiba tiba semua kondisi menjadi sebab begitu mudahnya kita berderai air mata. Seakan semua keadaan terkoneksi dengan rasa kita. 🤭

    ReplyDelete
    Replies
    1. Benar, ada koneksi yg terhubung, banyak diantaranya bahkan tak mampu kita lihat dengan mata

      Delete

Post a Comment

Popular Posts