Kembali ke Gayo 1860
Kampung Toweren, 14 Juni 2021
Senin cerah, awan-awan putih terlukis indah di langit biru. Bergerak dari kota Takengon menuju kampung Toweren yang berjarak kurang lebih 8,6 Km di lingkar danau Lut Tawar. Tempat di mana rumah adar berusia 1,6 Abad masih berdiri, di jaga dan dirawat oleh generasi keempat juga masyarakat kampung Toweren. Jikalah boleh dikatakan, maka kampung Toweren adalah salah satu kampung yang masih menerapkan adat dan tradisi yang kuat, maka pantaslah kita menyebutnya sebagai Kampung Adat.
Tepat, kami sampai saat acara sedang di buka. Sudah duduk rapi para Petue kampung, Ama reje, serta tamu undangan di sana. Ramai pula masyarakat kampung Toweren yang memeriahkan suasana, ibu-ibu, remaja sampai anak-anak juga tak mau ketinggalan, berkumpul duduk sama rata di pekarangan Umah Adat. Berkisahlah Ama Reje kisah mula tari Guel, sebagai upaya untuk membangunkan gajah yang duduk tak mau bergerak menlanjutkan perjalanan.
Mungkin kita akan kisahkan cerita itu di lain waktu, tapi kali ini kita akan coba kembali ke GAYO di 1860 M, tepat di mana sebuah rumah di bangun. Rumah milik kerajaan yang mendiami sebahagian wilayah di Tanoh Gayo, Reje Baluntara. Sebagaimana tertulis pada prasasti yang berdiri di depan Umah Adat. Tiga nama, dari ketiga generasi keturunan raja tertulis di sana.
Umah Pitu Ruang, atau rumah dengan tujuh ruang adalah rumah adat suku yang mendiami tanah Gayo. Begitupun rumah adat yang berdiri di kampung Linge yang lebih tua dari umah Reje Baluntara ini. Cirinya tetaplah bangunan dengan tujuh ruang: ada teras (1), bilik kanan dan kiri (3), tiga kamar (6), juga bagian dapur (7).
Konon, bangunan ini belum disentuh pemugaran, dimana kondisi bangunan masih serupa dengan bentuk awal dibangun. Walau sudah terlihat ada penyemenan di bagian tiang-tiang teras (yang tidak merubah bentuk), juga mulai tampak ornamen bangunan yang tidak lagi sempurna. Beberapa ukiran mulai rusak, dan kita tidak bisa lagi melihat peralatan dan barang-barang rumah tangga di dalamnya. Kata kek Syamsuddin yang merupakan generasi keempat Reje Baluntara, benda-benda itu sudah lama di bagi-bagi atau di ambil oleh pihak keluarga. Sulit memang untuk mengamankannya, apalagi tidak dijaga pemerintah untuk dilindungi. Jadi ya raib begitu saja saat ini, tidak tahu lagi ada di mana.
Tapi sungguh dengan kegiatan yang dilakukan pemuda kampung Toweren ini, memberikan kesempatan pada kami, terutama generasi muda Toweren untuk kembali mengenang sejarah lampau. Tahu bentuk, rupa dan fungsi dari bangunan yang ada di dekat mereka. Sebab sejarah harus di wariskan, jika tidak akan dengan mudah ditelan zaman. Hilang dan hanya jadi cerita masa lalu, tanpa dapat dilihat wujudnya.
Dalam acara ini, puda-pemudi mengenakan kain sarung. Layaknya pakaian sehari-hari tempo dulu. Ibu-ibu dan pemudi memasak makan siang, Asam Jieng Jaher, dengan cecah Agur dan pucuk jipang rebus. Menu yang istimewa untuk acara istimewa ini.
Sambil memandang Umah Pitu Ruang yang menyimpan kisah kehidupan raja pada masanya, kami menikmati makan siang dengan hidangan khas Gayo. Nasi hangat, perbincangan yang hangat, sehangat sambut sapa masyarakat kampung Toweren yang bangga menunjukkan pada dunia,



Comments
Post a Comment