Perjalanan, obatnya penat

Saat pikiran mulai tidak fokus, aktivitas terasa menjenuhkan, badan terasa cepat lelah dan rasa malas semakin memuncak. Mungkin kamu butuh piknik. Begitu pikirku.


Maka pagi itu, setelah drama kesalah pahama dalam penentuan waktu keberangkatan, akhirnya kami tiba di titik pertemuan kurang lebih pukul 11 siang. Pukul 9 lewat, saat sadar bahwa ada kesalahan dalam komunikasi waktu, aku menghubungi dua perempuan cantik yang baik hatinya untuk dengan sesegera mungkin bersiap dan berangkat. Kesepakatan awal pukul 2 siang digeser ke pukul 10 pagi. Tanpa ba, bi, bu, dan protes, semuanya langsung bersegera mempersiapkan diri untuk berangkat dan meninggalkan aktivitas yang sedang dilakukan. Luar biasa, kataku. Untuk perempuan yang biasanya butuh mempersiapkan ini dan itu, dua perempuan ini tidak semerepotkan itu. 


Tracking di tengah hari, cuaca cukup cerah, cenderung terik. Beruntung perjalanan awal melewati kebun dan ilalang yang tinggi, sehingga tragedi dibakar matahari belum kentara terasa di awal. Bercerita mengenai aktivitas berkeringat seperti ini, tak semua orang suka melakukannya. Karena selain melelahkan, kegiatan ini berefek pada warna kulit yang akan menjadi semakin menggelap, badan pegel dan bisa jadi lecet atau cidera, itu kemungkinan yang bisa saja terjadi, tentu. Maka memberitahukan informasi detil mengenai perjalanan juga perlengkapan yang perlu dibawa, wajib adanya. "Sudah biasa ke kebun," cela suara lembut itu. Perempuan berkerudung pink yang selalu tersenyum saat bicara. "Jadi sudah biasa jalan nanjak gini, walau jalurnya tidak sektrim ini," kembali senyum itu ada di sana. 


Empat puluh lima menit perjalanan, begitu estimasi waktu yang disampaikan si pembawa jalan. Kemiringan 35° mungkin ya, kami menelusuri bukit, masuk lereng penuh ilalang. Lima belas menit kemudian, mulailah teriknya matahari tak lagi ada penghalang. Angin sepoi-sepoi menggelitik semangat, danau Lut Tawar jadi penawar lelah. Takjub, tak henti lisan memuji keindahan alam ciptaan Allah. 


Menanjak, terus. Disepanjang perjalanan yang menantang ini, kami menemukan kotoran kerbau. Terheran, bagaimana hewan mamalia yang buntal itu bisa menaiki bukit-bukit ini. Tentu tidak ada yang mustahil bagi Allah, maka ini menjadi salah satu penguat kami. "Eh, jangan mau kalah kita dengan Kerbau. InsyaAllah sampai puncak juga kaki ini," begitu gurauan nakalnya. Si cerewet ini gesit berjalan di depan kami. Seperti tak ada lelahnya. Aku senyum-senyum, ah betapa dua orang teman perjalanan inj luar biasa. Mungkin aku perlu menceritakannya lain waktu.


Tentang perjalanan, bagiku hal tersulit adalah fase menuju puncak. Saat sudah di depan mata apa yang dituju, namun badan semakin terasa lelah, tekanan semakin keras, mental dan pikiran. Ini adalah klimaks dari perjalanan. Mau maju terus tapi rasa tak kuat, mau mundur udah kepalang tanggung. Tarikan napas panjang, wajah lelah, jantung seperti mendobrak ingin keluar, otot-otot terasa lemas. Saling menyemangati satu sama lain, hanya itu yang mampu menyalakan keyakinan untuk terus bergerak.


Sampai di puncak, disambut kumandang adzan Dzuhur. Istirahat sejenak, membasahi kerongkongan dengan air. Kuregangkan otot-otot yang sedari tadi telah berjuang sepanjang perjalanan. Bonus istimewanya adalah memandang hamparan danau Lut Tawar yang biru, kehijauan. Bagian kanan terbentang persawahan kampung Toweren nan hijau, bagian kiri kota Takengon. Sungguh, terbayar lunas capeknya hati dan pikiran ini. Semuanya luruh bersama keringat, keluar, mengosongkan ruang-ruang baru untuk kembali diisi.




Aku, sungguh menikmati tiap lelah dari proses perjalanan ini. Selayaknya hidup, untuk sampai di satu titik, kita perlu berkorban. Ada hal-hal yang harus direlakan, pun dengan ketidakpastian di seberang jalan. Kaki tetaplah harus melangkah, sebab mundur adalah sebuah kesesalan yang akan ditangisi kemudian hari.



Comments

Popular Posts