Secuil pandangan dari #Aku yang bukan siapa-siapa ini
Bila bercerita tentang perempuan dan islam yang kemudia disandingkan dengan modernisasi, mungkin akan terasa berat diterima bagi sebagian perempuan yang saat ini menempatkan perannya cukup besar dalam dunia kerja maupun dunia sosial yang tak lagi hanya sebatas pengisi waktu luang semata. Berbagai alasanpun bermunculan untuk membenarkan persepsi masing-masing. Mulai dari tuntutan ekonomi, tuntutan pengetahuan, dan budaya global.
Sejauh ini, memang bukan kapasitasku untuk menguraikan persepsi islam mengenai hal ini. Aku hanya ini menjabarkan sedikit pandanganku tentang apa yang menjadi beban pikiran dan pertimbanganku tentang hal ini.
Beberapa waktu lalu, dalam diskusi kecil bersama teman satu angkatanku, kemudia tema diatas terpapar dan menjadi pembahasan menarik. Kami bertiga saat itu, satu diantara kami laki-laki. Sebagaimana yang dipahami oleh kami berdua sebagai perempua yang memiliki suara terbanyak dalam diskusi itu dan telah bekerja beberapa tahun terakhir. Tentunya perempuan yang bekerja bukanlah sebuah masalah bagi kami, dengan alasam membantu suami mencari tambahan pundi-pundi uang untuk memenuhi kebutuhan hidup yang terus meroket ini. Intinya memang tidak akan jauh-jauh dari mencari kebahagiaanya yang berpatok dari ekonomi. Mungkin ini alasan kuat orang-orang berpendapa bahwa perempuan itu matre tapi kami lebih memilih kata realistis untuk menggabarkannya.
Tak mau kalah, satu-satunya yang mewakili suara laki-laki dalam diskusi ini menjabarkan pandangannya tentang peran dan tugas suami – istri. Memang sudah menjadi tugas dan tanggungjawab suami untuk menafkahi istri, dan tugas serta tanggungjawab seorang istri adalah mendidik anak, serta mengurus seluruh kebutuhan rumah tangga. Harapan besar seorang laki-laki adalah anak-anaknya akan mendapatkan kasih sayang penuh dari kedua orang tuanya terutama ibu, mendidik dan membekali anak dengan ajaran islam penuh dalam kesehariannya. Bukan hanya sekedar menitipan anak pada lembaga pendidikan terbaik yang seharusnya menjadi kewajibannya.
Ini perdebatan panjang yang tak dimenangkan oleh pihak manapun. Dua banding satu suara tetap tidak menghasilkan apapun. Setiap dari kami tetap punya pandagannya sendiri, dan keputusan itu diterima oleh semuanya.
Belakangan, beberapa waktu ini aku bertemu denagan lingkungan yang juga mendiskusikan permasalah ini. Mencoba menjabarkan peran-peran perempuan dalam islam, menjelaskan secara perlahan pada kami yang secara latar belakang merupakan perempuan yang telah berada dalam lingkungan kerja sangat lama, bersama egonya. Pandanganku tentang peran perempuan, istri maupun ibu menjadi semakin luas tidak hanya tersekat pada ketidak mampuan, keterbatasan atau kekhawatiran yang sebenarnya samar tentang peran tersebut. Mengapa saat ini aku merasa seperti khawatir menjadi alasan sangat kuat mengapa aku berada dalam pandangan ini. Mengapa rasanya melepaskan apa yang aku punya saat ini menjadi sesuatu yang tak terelakan. Bukankah setiap awal memang menggandeng akhir???
Ada limit dari setiap apa yang kita lakukan, dari tugas dan tanggungjawab kita masing-masing. Jika hanya kekhawatiran seperti ini yang menjadi alasan untuk pembenaran keputusan diatas, rasanya aku mulai melemah dengan pandangan ku sendiri. Mungkin memang ego yang berbicara sejauh ini. Bila dengan merelakan ego ini dapat memberikan kesempatan luar biasa bagi untuk menjadi pribadi yang lebih baik, lebih bermanfaat dan menjadikan ladang pahala luar biasa, apakah ada alasan kuat lain untuk menolaknya. Betapa bodohnya pandangan itu.
Tak pernah ada kata terlambat untuk berubah bukan??? Kita hanya berada dalam posisi untuk berbuat dan terus memperbaiki, bukan menentukan. Bismillah, semoga Allah mempermudah setiap langkah kita menuju pribadi yang lebih baik
Sejauh ini, memang bukan kapasitasku untuk menguraikan persepsi islam mengenai hal ini. Aku hanya ini menjabarkan sedikit pandanganku tentang apa yang menjadi beban pikiran dan pertimbanganku tentang hal ini.
Beberapa waktu lalu, dalam diskusi kecil bersama teman satu angkatanku, kemudia tema diatas terpapar dan menjadi pembahasan menarik. Kami bertiga saat itu, satu diantara kami laki-laki. Sebagaimana yang dipahami oleh kami berdua sebagai perempua yang memiliki suara terbanyak dalam diskusi itu dan telah bekerja beberapa tahun terakhir. Tentunya perempuan yang bekerja bukanlah sebuah masalah bagi kami, dengan alasam membantu suami mencari tambahan pundi-pundi uang untuk memenuhi kebutuhan hidup yang terus meroket ini. Intinya memang tidak akan jauh-jauh dari mencari kebahagiaanya yang berpatok dari ekonomi. Mungkin ini alasan kuat orang-orang berpendapa bahwa perempuan itu matre tapi kami lebih memilih kata realistis untuk menggabarkannya.
Tak mau kalah, satu-satunya yang mewakili suara laki-laki dalam diskusi ini menjabarkan pandangannya tentang peran dan tugas suami – istri. Memang sudah menjadi tugas dan tanggungjawab suami untuk menafkahi istri, dan tugas serta tanggungjawab seorang istri adalah mendidik anak, serta mengurus seluruh kebutuhan rumah tangga. Harapan besar seorang laki-laki adalah anak-anaknya akan mendapatkan kasih sayang penuh dari kedua orang tuanya terutama ibu, mendidik dan membekali anak dengan ajaran islam penuh dalam kesehariannya. Bukan hanya sekedar menitipan anak pada lembaga pendidikan terbaik yang seharusnya menjadi kewajibannya.
Ini perdebatan panjang yang tak dimenangkan oleh pihak manapun. Dua banding satu suara tetap tidak menghasilkan apapun. Setiap dari kami tetap punya pandagannya sendiri, dan keputusan itu diterima oleh semuanya.
Belakangan, beberapa waktu ini aku bertemu denagan lingkungan yang juga mendiskusikan permasalah ini. Mencoba menjabarkan peran-peran perempuan dalam islam, menjelaskan secara perlahan pada kami yang secara latar belakang merupakan perempuan yang telah berada dalam lingkungan kerja sangat lama, bersama egonya. Pandanganku tentang peran perempuan, istri maupun ibu menjadi semakin luas tidak hanya tersekat pada ketidak mampuan, keterbatasan atau kekhawatiran yang sebenarnya samar tentang peran tersebut. Mengapa saat ini aku merasa seperti khawatir menjadi alasan sangat kuat mengapa aku berada dalam pandangan ini. Mengapa rasanya melepaskan apa yang aku punya saat ini menjadi sesuatu yang tak terelakan. Bukankah setiap awal memang menggandeng akhir???
Ada limit dari setiap apa yang kita lakukan, dari tugas dan tanggungjawab kita masing-masing. Jika hanya kekhawatiran seperti ini yang menjadi alasan untuk pembenaran keputusan diatas, rasanya aku mulai melemah dengan pandangan ku sendiri. Mungkin memang ego yang berbicara sejauh ini. Bila dengan merelakan ego ini dapat memberikan kesempatan luar biasa bagi untuk menjadi pribadi yang lebih baik, lebih bermanfaat dan menjadikan ladang pahala luar biasa, apakah ada alasan kuat lain untuk menolaknya. Betapa bodohnya pandangan itu.
Tak pernah ada kata terlambat untuk berubah bukan??? Kita hanya berada dalam posisi untuk berbuat dan terus memperbaiki, bukan menentukan. Bismillah, semoga Allah mempermudah setiap langkah kita menuju pribadi yang lebih baik


Comments
Post a Comment