Serenade Senja di Serempah

Lembayu senja menghantar langkah pada bulir-bulir daun tebu yang basah. Lembab dari sisa hujan yang turut meringis melihat puing-puing kehidupan yang tak lagi berdiri kokoh. Terseok, rapuh. Payung-payung besar membentang disepanjang jalanan, gantikan peran genteng dan beton yang tak lagi setia. Si kaya mulai tak nyaman dengan dinding kokohnya, sementara yang dianggap miskin merasa nyaman dengan hangatnya papan.
Aroma caramel dari pabrik gula memenuhi rongga penciuman, memaksa masuk kedalam aliran darah kemudian menuju jantung. Mencoba hidupkan kembali detakan nadi yang melemah. Memastikan benar ini tempat yang sama, meski tak benar sama rupanya saat ini; Blang mancung.
Pilunya remang rona wajah memenuhi pinggiran jalan. Tak jauh, aku melihat miniatur perkampungan.  Menyatu karena kotakkan nasib yang sama. Memenuhi rumah-rumahan kecil untuk tiap kampung yang berbeda. Berwarna biru cerah, membentang kokoh dengan coretan kecil berwarna oranye di atasnya, BNPB; Posko pengungsian Rajawali.
Tersimpan harap dalam tiap sapa wajah, membahasakan pilu dalam diam. Rekahan tawa bocah yang memucat bersama deru keramaian. Terngiang gemuruh petir dan reruntuhan di hari itu. Hari yang panjang, hari yang menggandeng mesra duka dalam balutan kelamnya malam. Menyisakan landscape sendu yang tak berujung. Aku, masih belum menemukan yang ku cari.
Seorang laki-laki paruh baya mendekati sepeda motorku yang terlihat semakin usang dibelai debu dan lumpur. Bernyanyi lagu sendu dalam nada yang sumbang, tentang perginya istri dan buah hati yang menyatu bersama tanah, tanpa diminta. Bulir-bulir air mata mendesak keluar dari kelopak mata, bibir bergetar kaku, pucat. Seraya bercermin diri. Genggaman tangannya yang dingin mengingatkan ku tentang apa yang ku cari. Bersama senyuman lembutnya, kemudian berlalu, menjauh. “Tak waras”, mungkin terlalu kasar untuk menggambarkannya. Ia hanya tak lagi berada dalam dimensi yang sama.
Debu jalanan mengelus lembut kulit, bersama angin mereka ingin berbagi kemesraan. Menghibur diri yang kalut. Aku hanya ingin sampai di rumah. Kerikil menggelitik kesabaran, ruas jalan yang sekarat seolah ingin membawaku turut dalam kepedihannya. Terus menukik turun, menuju dasar lembah. Hamparan hijau padi terlihat memucat. Tak lagi merona seperti biasanya. Tak lagi memanggil untuk musim panen yang membahagiakan. Membeku, kaku. Bersama rasa bersalahnya karena tak mampu berbuat.
Jembatan besi Bah menjadi pintu gerbang dari puncak kepedihan yang sedari tadi mencoba membendung. Teriakan miris terdengar dari tenda pengungsian yang berada di depan sekolah dasar ku dulu, memanggil-manggil sebuah nama. Diikuti teriakan lainnya, senandung pilu yang lebih dalam, semakin dalam. Kampung ini seraya berparodi untuk sebuah kepedihan abadi yang tak terobati. Atas ketetapan yang tak bisa dielakkan. Longsoran di sungai ternyata turut menggulung 4 orang anak yang sedang mandi disana, tak biarkan waktu lebih lama bersama kebahagiaannya.
Langit membawa awan hitam bersamanya, tontoni raga dengan luka yang menganga pada jiwa. Mencibir lembut. Sesekali gertakan kilatnya mencoba riuhkan suasana. Sesak. Aku terus mengitari jalan menembus pilu. Mendengarkan irama pepohonan yang bercerita tentang dukanya.
Aku hanya ingin sampai di rumah, sampai di rumah dengan sambutan Ine dan Ncu seperti biasanya. Ncu tahu betul suara sepeda motorku. Biasanya, ia selalu menanti di depan pintu, berharap aku membawa pesanannya dari kota. Kali ini raket, mainan yang ia minta untuk menemani ramadhannya. “Aku membawanya ngi, dan kita akan bermain bersama. Melupakan segala duka yang di bawa hari . . .”
Pipi ku menjadi pendaratan mulus bulir-bulur air mata yang tak lagi mampu terbendung. Pandangan semakin buram. Kepala ku di penuhi berjuta gambaran yang tak ingin ku percayai. Mencoba berprasangka baik atas semuanya.
Sepeda motor ku terhenti tepat di depan rumah Cik Nanda, memandangi lembah baru yang terbentuk secara alami dalam hitungan detik. Menyisakan retakan pada ujung bibirnya. Atap-atap rumah melambai dari kejauhan, tak berbentuk. Ku coba pahami atas apa yang kulihat, sulit dipercaya. Seharusnya rumah ku ada di sana, hanya berselang 5 rumah dari rumah Cik Nanda.
“Wiiiiieeeeeen . . . . .” ranggulan tangan melingkar di pundakku. Tubuhnya gemetar, menahan tangis yang tak lagi bersuara.  Suara parau yang sulit ku raba siapa pemiliknya.Bersebuku tepat ditelinga ku, memaparkan kalimat-kalimat yang tak mampu ku mengerti dengan jelas, namun berbalut luka. Samar ku dengar nama Ine dan adik ku ia sebutkan. Sontak ku perjelas pandangan ku pada tubuh kurus itu. Memastikan bahwa ia benar mak pun Imah, adik ipar Ama. Kelopak matanyanya merah dan bengkak. Tak habis kata terus ia muntahkan, meski aku mulai membenci apa yang ia katakan.
Perempuan itu masih bersama tangisnya ketika kutinggalkan. Hanya ada kekosongan pada diri, pupil mata ini tak mampu melihat jelas sekeliling. Tak ada yang mampu ku lakukan ketika melihat rumah rata dengan tanah, rumah mak Mar, Ibi Jurai dan yang lainnya. Dimana Ine? Dimana  Ncu ku??? Aku yakin mereka masih di rumah. Menantiku.
“Aku akan mencari Ncu dan Ine. Ncu pasti senang sekali karena ku bawakan raket. Mereka pasti ada di bawah sana. Aku harus kesana . . . .”
Samar ku dengan suara-suara memanggil nama ku. Memekik pilu seperti yang ku dengar di Bah tadi. Tak tahu apa yang mereka risaukan. Mereka terlalu khawatir. Aku baik-baik saja. Saat ini aku hanya ingin berada pada dimensi yang sama dengan Ine dan Ncu

Comments

Popular Posts