Diantara Puing Harapan; Mak Rahmi

Senyuman lembut menyapa saat pertama kali bertemu wanita ini. Dalam tenda berukuran 2 x 5 m yang berada di depan kerangka rumahnya, ia dan anak-anaknya sekarang bernaung. Rumah bantuan bagi korban konflik yang diberikan BRR dua tahun lalu kini hanya meninggalkan beberapa dinding dan tiang yang tak lagi berdiri tegak, sebahagiannya malah telah tergeletak memenuhu tanah di sekitarnya. Melihat langit yang menghitam, mak Rahmi panggilan akrab ibu beranak 4 ini menjadi khawatir, kalau tenda mereka akan digenangi air. “semoga tidak hujan”, pengharapan sederhananya setiap hari.
Kasur usang dan beberapa selimut bantuan terlipat rapi di ujung tenda. Beralaskan terpal, mereka mencoba mencari kenyamanan. Kardus-kardus berisikan bahan pangan dan juga peralatan dapur seadanya tersusun di pojok pintu. Untuk masak, mak Rahmi menggunakan kayu di samping tendanya. Untungnya air bersih masih mengalir dari sumur bor miliknya, meskipun untuk mandi mereka harus menumpang kerumah tetangga. 
Kondisi kesehatannya yang semakin memburuk pasca gempa membuat ia sering kali harus berobat ke bidan desa. Untung saja bidan kampung berbaik hati melihat kondisi mak Rahmi, sehingga memberikan pengobatan gratis, walaupun dengan keterbatasan medis dan bantuan obat yang dimilikinya. Itu lebih dari cukup bagi mak Rahmi. Karena semenjak sakit, ia tak lagi dapat bekerja untuk menyortir kopi apalagi mencuci dan mnggosok. Mak Rahmi sangat berharap bisa mendapatkan bantuan modal usaha, sehingga ia tidak perlu lagi bekerja kasar dan membuka usaha dirumah.
“Kaki kiri saya sering terasa sakit, saya juga sering mengalami pendarahan”, mak Rahmi mengaku mengalami gejala itu bila ia mulai merasa stres. Bila sudah begitu, ia hanya memilih untuk berbobat ke bidan dan beristirahat.
Mak Rahmi yang memiliki nama asli Syamsunah ini memiliki 4 orang anak. Anak pertamanya Rahmi, setelah menikah ikut bersama suaminya, tinggal tiga anaknya yang masih menjadi tanggungjawabnya.  Mukale wantara yang berumur 17 tahun merupakan anak laki-laki satu-satunya yang turut membantu nafkah keluarga, mengalami kecelakaan dua hari setelah gempa. Sedangkan kedua adik perempuannya yang masih bersekolah. Apraha Zaru, 10 tahun dan Hairana Fisa, 8 tahun, terlihat masih ceria meski harus tidur di tenda yang dingin.
Sejak gempa 2 Juli lalu, mak Rahmi merasa hidupnya semakin sulit. Karena sakit yang ia derita, mak Rahmi memilih menumpang kerumah adiknya di Pinangan. Namun ternyata, hal itu membuat ia tidak mendapatkan bantuan baik dari rumahnya di kampung Paya Serngi maupun Pinangan. Sedangkan untuk tetap tinggal di rumah, mak Rahmi tidak memiliki tenda. Setelah beberapa kali menyampaikan keluhannya kepada gecik, barulah mak Rahmi menerima bantuan tenda, beras dan selimut. 
Saat ini, mak Rahmi hanya berharap dari bantuan yang datang tak menentu. Untunglah tetangga-tetangganya masih sering mengulurkan bantuan makanan, terutama saat berbuka puasa.
Ramadhan kali ini memang terasa sangat berat bagi perempuan berumur 43 tahun ini. Hatinya sangat miris ketika anaknya meminta dimasakkan daging saat megang lalu.  Ia mencoba memberikan pengertian kepada anak bungsunya. Apalagi sebentar lagi lebaran, ia bahkan tak mampu memikirkannya. 

#Post; Suaragayo.com

Comments

Popular Posts