Menjemput Takdir
Tak peduli jarak, tak perduli cara, jika sudah waktunya pastilah bertemu.
Sudah sering dengar tentu ungkapan ini, tapi tetap saja suka khawatir, kepikiran berlebih. Begitulah manusia.
Nun di pedalaman Aceh Selatan, kegiatan jalan-jalan, liburan dan bermain berlangsung sesuai rencana. Menikmati indahnya desa yang damai dan alam yang syahdu. Terisi kembali seluruh jiwa dan raga, hilang lelah, letih kehidupan yang ada dipundak. Berganti syukur akan rasa 'penuh' yang mengisi. Nikmat Mu, ya Rabb, pada tiap cipta dan rasa yang bertabur di bumi.
Lepas Ashar, aku yang ditinggal sendiri istirahat karena sebelumnya keram perut, sedang teman-teman yang lain bermain di PLTA, terbangun dan melihat pemudi kampung sudah bermain di lapangan. Ya, lepas Ashar adalah waktunya para gadis bermain, sebab jam lima nanti, lapangan akan dikuasai oleh para pemuda. Entah bagaimana ada yang menarik hati untuk bergerak ke sana.
Ini kali kedua aku bermain, hari terakhir kami berada di desa. Kadang setelah kupikir, kenapa aku bisa ikut bermain sendirian? Biasanya aku tak akan pernah pergi jika tidak ditemani teman-teman lain. Mungkin karena hari terakhir, hatiku bilang sebagai perpisahan saja. Toh aku tidak bisa ikut main ke PLTA, jadi aku akan luangkan waktu lebih di lapangan.
Seru sekali bermain, Aku suka olahraga, walau tak pernah bermain profesional. Mengeluarkan keringat, tertawa bersama, selalu terasa menyenangkan. Sore itu gerimis tipis, kami masih tetap bermain walau lapangan becek sisa hujan tadi siang. Permainan berjalan seru, skor 9-15 untuk tim kami, sampai kemudian,
"Plaaaaaak,"
Seketika aku menggenggam pergelangan tangan kiriku. Kaku, aku tak bisa menggerakkannya. Ada sakit yang luar biasa. Setengah menangis, aku merintih di sudut lapangan. Seseorang melempar smash tajam dan aku refleks menangkisnya. Keras sekali. Nilam dan Nirwana mendekat, memijat tanganku, berharap menjadi lebih baik kondisinya.
Aku meninggalkan lapangan dengan ngilu di pergelangan tangan. Kupikir lebam biasa, mungkin sebentar lagi juga membaik. Tapi perkiraanku salah, tanganku membengkak dan semakin berdenyut. Semua orang mulai panik, sedang aku semakin lemas dengan rasa sakit yang cukup mengganggu.
Malam itu kami mencari tukang urut, tanganku terkilir, untuk pertama kali aku merasakannya. Terus membengkak dan sulit digerakkan. Ada acara di salah satu rumah warga untuk menentukan tanggal resepsi pernikahan Rida, perempuan cantik dari Desa Sarah Baru yang akan menikah dengan pemuda Menggamat, kampung seberang. Semua orang berkumpul di sana. Tanpa ba-bi-bu, tanganku langsung di pegang, diurut oleh Mak Mala ditengah hiruk-pikuk acara yang berlangsung. Aku hanya bisa menutup wajah dan melepas rintihan sesekali. Sakit sekali, tak kuhirau lagi banyaknya perhatian yang tertarik kearahku.
Paracetamol kuminum untuk meredakan sakit, sedangkan tangan sudah dibalur buah pala hangat kemudian di tutup kain. Cuma tidur yang kuharap bisa memberi kenyamanan untuk kondisi ini.
Pagi sebelum kembali ke Banda Aceh, matahari masih di peraduan, Ar sudah mengingatkan aku untuk pergi urut kembali. Tanganku masih bengkak, disentuhpun sakit. Aku tidak bisa bayangkan apa yang terjadi jika tahan ini di usap minyak kemudian dikusuk. Tentu aku juga bisa bayangkan kemungkinan terburuk jika malah dibiarkan tidak dikusuk. Kurapatkan geraham, berangkat ke rumah Mak Mala untuk diurut kedua kali, disertai teman-teman yang terlihat lebih cemas dariku.
Semampuku kuatur napas. Kugigit kain yang menggantung dileher, sisanya kututup wajah. Bukan tak ingin memperlihatkan wajah tak beraturan dalam rintihan ini. Tapi aku hanya tak ingin menambah khawatir yang lain. Cukup lembut kurasa Mak Mala mengusuk tanganku. Maksudku, dia berusaha memulai dengan perlahan sehingga aku punya kesempatan untuk menyiapkan diri sampai di puncak prosesnya.
Air mataku menetes, kusandarkan badan ke dinding, berkali-kali menggeser tempat duduk, menegakkan badan. Serba salah, tak ada posisi yang tepat untuk situasi ini. Entah sesiapa yang bergantian mengusap punggungku, mencoba mentransfer kekuatan.
"Aaaaaaaght,"
Tak sanggup kutahan lagi. Mak Mala sedang melakukan tugas beratnya. Tangan kiriku yang malang berderak beberapa kali, diikuti teriakan yang tak bisa lagi kutahan. Aku menarik napas panjang, Mak Mala tersenyum dan berkata dalam bahasa Aceh yang sedikitnya kutafsirkan demikian,
"Begitulah takdir, jika memang sudah waktunya pasti bertemu. Kamu datang dari Aceh Tengah kemari, sebahagianya adalah untuk menjemput Takdir ini."
Teman-teman terkekeh, begitupun aku, kupaksa ikut merayakan takdir ini dengan senyuman. Iya, sudah terjadi, pertanyaan mengapa mungkin tak penting lagi. Begitulah dengan mudah Allah menuntun jalan, jika memang sudah waktunya, pasti akan bertemu. Bagaimana, dimana, siapa, kapan, bukan kapasitas kita menentukannya. Kita hanya perlu bersiap dan bijak dalam sikap.
Oh, apa kemudian aku menyesal pergi ke Sarah Baru? Tentu tidak sama sekali. Bahkan dengan kejadian ini, aku berterimakasih pada Allah karena telah mempertemukanku dengan orang-orang luar biasa yang memberikan cintanya padaku. Aku melihatnya, wajah-wajah khawatir itu, perhatian tulus itu, pelukan hangat itu. Aku merasa menerima cinta yang luar biasa dari kalian semua.
Aku ingat dengan baik bagaimana Ar, disampingku saat aku diurut pertama kali, bagaimana mamak Uwes bangun dari tidurnya menyiapkan buah pala hangat untuk tanganku. Ada bang Dedi yang bertanya terus tentang keadaanku, bagaimana Sultan dan Madi bergurau menghiburku. Bang Buyung yang meledek, kak Ria yang sigap mencari minyak urut, Sur yang selalu bertanya 'sakit ya kak? Masih sakit kak?'' Rida, Herlan, Mega, Nilam, Nirwana, Wira, apa perlu aku sebutkan nama warga Sarah Baru satu persatu?
Tentu aku pasti paling ingat kalian teman-teman, Nisa yang membantu memasang jilbabku, membantu packing, semua hal dibantu. Lisna yang memastikan aku tidur dengan nyaman dan posisi yang tepat, menjaga geraknya agar tidak semakin membuatku tak nyaman, tapi tetap bisa berada di dekatku. Asli, kalian duo adik bawel aku, dalam dua versi wujud yang berbeda. Kenapa kalian memperlakukan aku seolah-olaha tak mampu melakukan apa-apa? Padahal hanya tangan kiri aku yang sakit, bukan sekujur tubuh. Dasar. Kak Nurul yang selalu memberi motivasi, menyiapkan makan besar untuk kita semua. Alhamdulillah kak, sejak hadirmu makanan kami jadi lebih bersemangat, terutama saat mood-ku sedikit kacau karena cedera ini. Diskusi-diskusi ringan itu juga sangat membantu mengalihkan fokusku dari denyutan manja tangan ini. Fitri, Hilma, yang selalu berusaha memastikan semuanya baik-baik saja. Wali yang terkekeh dan meledekku si 'tangan atlet' juga dek Eza yang dalam diamnya selalu ada, memperhatikan dan bertanya. Plis, aku tidaklah perlu dikasihani seperti itu. Tak perlu menyaingi dua adik perempuan bawelku.
Begitulah kurang lebih kisah 'menjemput takdir' kali ini. Masih banyak takdir lain di depan sana, yang masih ditunggu juga di khawatirkan. Selayaknya manusia bijak yang selalu belajar, bersedialah. Yang namanya takdir akan sampai, dijemput atau ia yang akan datang menjemput. Terus berjalan, pasti akan bertemu.




Comments
Post a Comment