Teguran Allah, kali ini namanya sakit
Adakah yang sedang sakit?
Adik saya, salah satu kerabat sedang diuji sakit beberapa hari ini. Untuk orang yang jarang sakit, apalagi sakit berat. Kena infus dan harus di rawat inap adalah hal yang cukup bikin khawatir. Belum lagi dikondisi pandemi saat ini. Tentu, sakit saja bisa jadi was-was. Pikiran melayang kemana-mana, semakin tak karuan.
Beberapa hari lalu kamu menelepon, mengabarkan bahwa sudah seminggu tidak enak badan. Kemudian memutuskan berobat di bidan desa dan harus diinfus. Dari gejala dan hasil tes darah, kamu positif tifus stadium empat. Badan lemas, sendi-sendi sakit, diare, demam tinggi. Tidak nyaman tentu, biasanya bisa beraktivitas bebas, saat ini harus berbaring dengan kondisi tubuh yang serba salah.
Sehari, dua hari, seminggu. Lama rasanya waktu berlalu, setiap hari kamu semakin sering menangis. Merintih ini dan itu. Sampai harus pindah menginap di rumah sakit beberapa hari. Aku tahu kamu semakin khawatir, bayangan terburuk semakin membayangi, terpapar Covid-19. Ya, saat ini, masuk ke rumah sakit saja, dengan demam, batuk dan gangguan pernapasan, kamu sudah otomatis jadi suspek Covid. Belum lagi pandangan masyarakat tentang orang yang terkonfirmasi Covid masih cukup jadi momok mengerikan.
"Kak, aku takut mati."
Kamu menangis di ujung telepon dan aku terdiam beberapa detik. Sedu sedan, kamu menyeka air mata itu. Tertahan ucapanmu dalam isak. Menghela napas dan mencoba tersenyum, aku. Kupikir aku harus kuat untuk bisa menguatkanmu. Walau dalam hati, aku pun mendung tak karuan.
"Jangan terlarut berlebihan, itu bisa jadi was-was dari setan. Kamu harus kuat dan yakin bisa sembuh," begitu kujawab.
Kamu bilang menyesal karena saat sehat masih sering lalai ibadah, sholat bolong-bolong, ngaji juga tidak pernah, apalagi ibadah lain, semakin jarang pula dilakukan. Kamu menyesali itu, dan kamu teramat takut tidak punya waktu membayar semuanya.
Aku senang mendengarnya. Sakitmu, akhirnya menjadi teguran terbaik. Bukankah Allah janjikan sakit sebagai penggugur dosa? Maka tidak selayaknya sakit hanya jadi tumpahan keluh dan kesah. Sakit harusnya jadi penambah amalan dan doa-doa yang dilangitkan berharap ampunan Allah. Kamu sudah ada di kesempatan terbaik yang selayaknya dapat kamu manfaatkan sebaik-baiknya pula.
Sulit sholat dalam kondisi diinfus dan badan lemas katamu, maka semoga yang sulit itu menjadikan bertambahnya pahala, dek. Hati gak pernah tenang kamu berucap. Sibukkan dengan dzikir, jika begitu. Aku selalu ketakutan kak, apalagi malam hari, kamu katakan. Maka Rahmat Allah lah yang memberikan kesempatan kamu untuk mencicipi tahajud yang doa-doanya bagaimana lesatan panah tepat ke sasaran.
Hari-hari kita dalam obrolan yang berisi nasehat serupa. Kamu mengingatkanku tentang banyak hal, lewat musibah ini. Semoga juga hal yang sama yang kamu dapatkan dari pelajaran yang Allah sampaikan di babak istimewa dalam hidupmu.
Jika kita sederhanakan, sakitmu bukanlah sakit parah yang membuat sekujur tubuh tak mampu bergerak, misalnya. Sakitmu hanyalah sakit yang bahkan kata dokter bisa dirawat berjalan di rumah. Tapi Allah selalu punya cara mengambil nikmat. Bukan perkara besar kecilnya musibah dari ukuran manusia, Allah lebih tahu batas kemampuan umatnya, memberikan ujian sesuai pula. Maka kamu harus yakin bahwa kamu bisa melewati ini.
Begitulah, bahwa kita selayaknya paham bahwa apapun yang melekat pada diri sejatinya bukan milik kita. Rupa, sehat, rezeki, keluarga, kekayaan, kehidupan, rasa senang-sedih, takut, khawatir, semuanya milik Allah, yang dengan mudah bisa di ambil. Sudahkah kita jadi hambaNya yang dengan ujianNya menjadi sabar dan dalam nikmatNya kemudian bersyukur?
Sebab sakit, mungkin cara Allah menegur kita untuk tidak sombong.
Mengingatkan kita bahwa hidup yang diberikan bukan sekedar sia-sia berlalu dan bisa digunakan sekenanya. Kita hidup di dunia sebagai hamba Allah dengan sebuah alasan, yang nanti setiap perbuatan dan keputusan kita kemudian akan diminta pertanggung jawabannya. Semoga kita tidak melupakan itu.
Ti, dikesempatan terbaik yang akhirnya melembutkan hatimu untuk kembali. Aku berharap ini benar-benar bisa menjadi momen terbaik memberikan keistiqomaahan padamu untuk berjalan lurus di jalanNya. Terus sampai detak waktu tak lagi menyertai langkah. Kamu harus ikhlas dan menerima musibah ini dengan lapang. Allah yang mendatangkan maka Allah pula yang akan mencabutnya. Mintalah pada Allah dengan hati yang lembut. Dengan jiwa yang baru, sebagaimana inginnya Allah, kamu merintih dan mengadu hanya padaNya.



Comments
Post a Comment