Perpisahan, dan kita yang tak pernah siap


Tadi malam, kamu berdiri di depan pintu Menasah. Melambaikan tangan seolah telah menanti lama, kubalas dengan senyum. Kamu apit tanganku masuk, menunjukkan sajadah yang sudah sedari tadi terbentang di saf pertama. 

"Di sana yaa, di samping sajadah putih itu," katamu. 

Aku mengangguk dan turut membentangkan sajadah, persis sebagimana komandomu. Kamu bergegas melaksanakan sholat sunah di belakang sana.

Raka'at demi raka'at khidmat kita melaksanakan sholat di akhir Ramadhan yang mulai sepi. Raka'at keempat Tarawih, kamu berbisik. 

"Aku mengantuk sekali, Ri"

Kulihat mata itu semakin sayu, nyaris tertutup. Raka'at berikutnya kamu semakin tidak fokus. Beberapa kali tersentak dan nyaris mendorongku. Was-was aku, berharap tidak ada kejadian memalukan terjadi malam itu. 

Kamu ingat, dulu pernah satu malam saat sholat Tarawih dan tiba-tiba lampu mati. Sontak kamu memegang tanganku, aku yang terkejut membela diri, bergerak kaget. Terdorong ke samping, menggeser orang-orang di kananku. Selepas sholat semua mata tajam menatapku. Kamu hanya tersenyum, dan minta maaf sekenanya.

Itu belum lagi cerita bagaimana kita sibuk makan dibalik mukena saat penceramah memberikan tausiah. Jajanan legenda kita adalah mie instan remuk, iya mie instan yang diremukan dan dimakan begitu saja. Masalahnya, makanan ini selalu menarik perhatian orang-orang saat kita mengunyah. Bagimu itu selalu menarik, menantang mata-mata yang menatapmu kesal.

"Ri, selesai Tarawih kita kemana? Jangan langsung pulang ya, aku sudah lama tidak jalan-jalan malam di kota Takengon"

Kamu tahu, aku tak pernah lagi berkeliaran di malam hari, tapi tentu aku tak bisa mengelak untukmu. Tukang bakso di dekat Menasah, kuajak kau kesana. Bakso Larva yang fenomenal itu kamu lahap penuh hasrat. Sebesar hasratmu bercerita tentang banyak hal. 

Lebih pukul sepuluh, aku berkali-kali melirik jam. Kamu masih tetap asik komat-kamit. Meneguk air beberapa kali karena kepedasan. Bakso di mangkukmu sudah nyaris habis, kemudian cerita menjadi semakin sendu. 

"Papa udah gak ada, Ri"

Sepersekian detik tertahan sendok yang menuju mulutku. Kulihat matamu mulai memerah, basah. Aku tersenyum dan mengelus tanganmu. Pak Uwo, aku biasa menyapa Papamu. Kamu bercerita bagaimana kecewanya tidak bisa ada di sisinya di waktu-waktu itu. Kamu yang berjarak, nun di sana tak sempat bahkan menciupnya untuk terakhir. Tapi tak apa, katamu kamu paham bahwa urusan takdir tak ada yang bisa mengelak. 

Kamu anak bungsu, No. Perempuan, tentulah kemudian menjadi sangat manja dengan Papa. Aku biasa melihatmu bercanda dengannya, memeluk dan bercerita bersama. Kamu sudah sangat berjuang keras No, bahkan saat diperantauan, tak pernah letih kulihat kamu memperjuangkan kesehatan Papa. Setiap peluang pengobatan kamu ambil, telaten kamu membawa Papa ke sana dan ke sini. Aku paham bahkan untuk sekolahmu pun, sudah pasti tidak lagi penuh fokus bisa kamu jalani. Tapi tak pernah surut langkah, berbakti pada orang tua. Hitungan tahun, kamu melakukannya dengan baik.

"Ri, ternyata kehilangan itu sesedih ini ya"

Aku tak mampu lagi membendung air mata. Tentu, meski aku belum pernah ada di sana. Aku selalu mendengar kalimat yang sama, dari banyak orang. Kamu hebat kataku, di tengah kesedihan kamu masih kuat menggandeng Mama, orang yang juga sangat terpuruk, pasti. Mama yang mendampingi Papa di sepanjang kehidupan pernikahan, yang selalu bersama berjualan, beribadah, menjaga anak-anaknya. Kamu kuat No, kamu bisa tegar di hadapan Mama.

"Tentang perpisahan, sebaik apapun kita mempersiapkan. Nyatanya kita tak akan pernah benar-benar siap."

Kamu mengangguk, kemudian kita percaya bahwasanya amalan anak Sholeh adalah bentuk bakti terbaik pada orang tua. Tak akan putus, sampai kembali bertemu di tempat terindah nanti, Surga. 


Comments

Popular Posts