BURNI TELONG, Ku
Sore yang tak begitu cerah, tapi sepertinya hujan juga enggan mencumbu bumi. Lembab berada diantara keduanya,menyisakan secuil harapan untuk pendakian mulus tanpa diguyur hujan.
Baiklah, ini pilihan akhir pekanyang membuat aku begitu bersemangat melakukannya. Apalagi yang menjadi pilihanliburan yang mengesankan selain bermain di alam, membiarkan peluh dan hembusannafas ikut ambil bagian didalamnya. Burni Telong, padang edelweis datarantinggi gayo itu menjadi pilihan kami.
Pendakian mengambil jalur daribandar lampahan, menuju desa Rembune sebagai desa terakhir tempat pendakimeminta izin dan menyerahkan beberapa administrasi. Perjalanan terakhir ku, 3tahun lalu terasa sangat berbeda. Pertama karena geciknya (kepala kampung) telah berganti, pastinya dan kali iniperaturan desa tentang pendakian semakin jelas dan transparan. Posko pelaporanbagi para pendaki sudah berjejer disepanjang jalan dengan pamplet nama yangmudah dilihat. Kami menyerahkan surat-surat dan administrasi, biasanya sebesar3.000 - 5.000 per orang sudah termasuk parkir kendaraan (ini bisa berubahsesuai kemampuan lobi) kemudian kita akan di antar sampai ke pintu rimba.
Ada rumah mamak gunung disana,biasa disapa begitu karena ibu ini memang sangat ramah dengan para pendaki.Sepertinya sudah sama lama mamak gunung tidak tinggal lagi disana. Sekarangrumah mak gunung tak lagi sendiri, ada rumah kebun yang terlihat belum lamadidirikan, juga lahan pertanian yang semakin merambah naik ke pintu rimba.
Hujan sempat menggoda, mengguyur deras,sebentar saja. Kemudian kembali reda dan membiarkan kami memulai pendakianmenyusuri lekuk burni telong. Sepanjang perjalanan kami bertemu dengan pendakiyang sudah turun dari puncak, beberapa diantaranya masih beristirahat dishelter. Ada banyak pendaki di akhir pekan seperti ini, hal yang lumrah saatlong weekend. Dari yang sudah melapor kekepala kampung, ada sekitar 75 orang dipuncak, sangat banyak untuk puncak kecilburni telong ku.
Sepanjang tiga tahun terakhir,tingkat pendakian di burni telong meninggkat tajam. Semakin banyak penggiatalam bebas yang memilih untuk menaklukkan puncak ini, baik dari aceh maupunsumatra. Daya tarik edelweis dan greatpendakian yang tidak terlalu berat sepertinya sukses mengundang ketertarikanakan tanah gayo.
***
Adzan magrib berkumandangmenyambut kedatangan kami di shelter akhir. Para pendaki yang sudah sampai darisore tadi mulai bersiap melaksanakan sholat magrib. Mata ku mulai memperhatikanderetan tenda yang menyebar memenuhi shelter, berpencar mencari sudutnyamasing-masing. Secara garis besar ada 4 kelompok tenda disini yang terdiri dari10-15 orang, akan segera menjadi lima saat tenda kami didirikan. Ini pemandanganyang tak lazim saat melakukan pendakian beberapa tahun yang lalu. Saat dimanahanya ada 1 api unggun, suara binatang malam dan hembungan angin gunung yangdingin. kontras, disini semakin malam semakin riuh pula suasana. Suara gitar,nyanyian, tawa bersautan tak pernah habis. Seperti tak rela biarkan sunyimenyapa malam. Ini malam yang berbeda, ini pendakian yang berbeda.
Mulai pukul 3 pagi shelterkembali ramai setelah beberapa waktu sempat senyap. Orang-orang sibukmerapatkan jaket dan menyiapkan senter untuk mendaki puncak. satu persatukelompok mulai berjalan meninggalkan kami dan beberapa diantaranya yang masihenggan menyapa embun. Aku tak pernah mendaki sepagi ini sebelumnya, tapi karenakeputusan team sudah bulat untuk mengejar sunrisedipuncak, terpaksalah ku kalahkan dingi ini. Satu maslah terbesar ku sejauh inimemang dengan dingin. i hate wet, i hate cool.
***
Kami meninggalkan tenda pukul05.30, menapaki puncak ditemani terang bulan. Kerlip lampu memenuhi jalurdiatas kami. Sepertinya banyak yang sudah sampai dipuncak, bahkan ada yang ngecamp di puncak katanya. aku tak bisabayangkan betapa dinginnya tidur disana.
Puncak burni telong 07.15 pagi,tak ada sunrise yang kami dapatkan.Puncak padat merayap, orang-orang mulai sibuk berpose mengabadikan momenmasing-masing, aku juga sibuk dengan pemikiran ku sendiri. Tak pernahterbayangkan akan berada dipuncak dengan kondisi seperti ini, padat. Puncakyang hanya menyisakan sedikit ruang gerak untuk 70 an orang ini. Area puncaksemakin sempir, beberapa bibirnya amblas kebawah, longsor. Puncak batu yangbiasanya ada didepan kami juga tidak ada lagi, begipun dengan deretan batubertuliskan ALLAH tak tanpak jelas lagi. Tapi semua orang sepertinyamenikmatinya, ada senyum di tiap wajah itu. Bahagia, haru bahkan kesombonganterselip disana. Selalu ada kepuasan saat berada diketinggian.
***
Satu persatu penjejal puncakmulai turun menyisakan keleluasaan bagi yang ditinggalkan. Saat itu hanyatinggal kami dan komunitas vespa yang tinggal. Setelah teman-teman darikomunitas penggiat alam Lhoksmawe dan Pidi turun. Kami memilih beristirahat, mengisiperut yang kosong sambil menikmati puncak.
Setelah perjalanan yangmelelahkan, semua orang serasa menjadi pujangga. Terangkai doa-doa dan harapanyang tersirat pada lembaran kertas. Mungkin pembuktian, atau janji yangdipatrikan dari ketinggian 2626 MDPL. Berharap langit menjawabnya. Bebas. Tiaporang boleh mengeksplorasi dirinya.
Dan inilah pilihanku,


Comments
Post a Comment