Ruang bagi takdir

Mungkin memang takdir yang menggerakkan langkah ku melewati rute paling sepi di komplek perumahan ku. Mukenaku masih tergantung ditangan kiri ini, kujerat dengan begitu kuat. Ketika secara refleks ku tahan suara yang akan keluar dari mulut ku dengan tangan ini.
Astagfirullah al`azim . . .
Desahan lembut nyaris tak bersuara itulah yang hanya mampu kukatakan. Untuk beberapa waktu terasa seakan seluruh otot dan persendiaan ku kaku. Waktu terhenti. Semua hanya untuk sebuah makhluk dihadapanku ini. Hingga rintihan keluh itu mampu memaksa impuls syarafku untuk memanggil sebuah nama dalam ponsel ku. Kak Gian, mungkin dia tahu apa yang harus aku lakukan.
^ ^ ^
Suara lembut dari kak Gian membangunkan ku dari kelelahan malam itu. Sahur, sudah waktunya sahur. Semalan ada sedikit keributan dirumah. Yea, abi salah paham. Karen aku memutuskan membawa laki-laki itu kerumah, bersama kak Gian tentunya.
Keadaannya  benar-benar  miris. Badanya bau alkohol, sepertinya pemabuk berat, Matanya merah, dan tangannya terluka. Ada beberapa jarum suntik disana.
Cowok itu masih tertidur di sofa itu. Wajahnya teduh, polos banget. Seakan mampu buramkan jatidirinya. Abi sepertinya tidak suka dengan keberadaannya. Biarlah, lucu juga ngeliat muka abi gitu. Abi pasti ikhlas kok bantuin cowok ini. Tapi pasti beneran pangling ngeliat orang seperti ini bisa masuk kerumah abi,hehe
Mata ku beralih pada wajah itu. Wajah yang begitu lembut dan teduh, apa benar cowok ini yang aku temukan tadi malam.
^ ^ ^
Malam itu, kurang lebih satu jam kami dalam hening. Aku bahkan sama sekali tak tau apa yang aku pikirkan. Tepatnya tidak mau tahu. Membiarkan kedua laki-laki dihadapanku membuat sebuah keputusan. Ku harap sesuatu yang bijak. Bijak Untuk semuanya.
Tak ada pilihan untuk ku. Karena aku memang bukan pilihan. Cukup berarti bagiku mengorbankan rasa yang ku punya untuk kak Gian atau Fero sebagai sosok yang begitu aku kagumkan.
Mimilih salah satu dari mereka. . . .
Itu pertanyaan yang terasa tolol bagiku saat ini. Kenapa bisa timbul pertanyaan seperti itu. Apalah artinya mempertaruhkan nafsu sesaat diatas hamparan luas masa depan. Keadaan memperalat kami bertiga untuk melupakan segala mimpi-mimpi masa depan kami. Mengalahkan logika dan akal sehat untuk sebuah keegoan dan kearoganan manusia. Dilema yang terasa begitu menguji ku. Menguji kami dan ikatan diantara kami.
^ ^ ^
Aku kembali teringat kejadian tiga hari lalu, saat aku menemukan Fero.
Mata itu. Mata itu seakan mampu merasuki tiap aliran darah ku. Menularkan rasa sakit dan perih yang dialaminya. Sorotan matanya begitu tajam mengalahkan kerlipan elang. Hening. Badannya bergetar, tangan kanannya terangkat bersama noda darah yang mengalir pekat. Kurasakan getaran tubuh itu, menularkan kemirisan lewat dinginnya tangan yang bergetar itu.
Perlahan kurasakan tatapan itu melemah, melemah dan redup. Tangannya menggenggam tanganku begitu erat. Seakan berlindung pada ku.
Tolong. . . .
Itu satu kata yang dapat kami hasilkan dari pertemuan ini.
^ ^ ^
Fero memang golongan orang-orang yang sangat dekat dengan Narkoba dan Minuman keras. Dia selalu bersihkeras menyakini hal itu. Sebuah alasan kuat pelarian dari masalah.
 ”aku tidak pernah merugikan siapapun, apa aku harus mendekatkan diri kepada Allah setiap kali ada masalah. Sedangkan biasanyapun aku tak pernah melakukannya. Munafik”.
Anak yang keras kepala, sulit untuk bisa meluluhkan hatinya. Luka di pergelangan tangannya itu karena Narkoba. Dia kehabisan stok. Entahah, aku tak cukup paham untuk hal seperti itu. Ada hal yang menarik dari dia. Pandangan akan agamanya begitu polos, lugas dan apa adanya. Kadang bahkan terasa sulit untuk menjawabnya. Itu yang membuatku begitu penasaran dengannya.
Kak Gian selalu bertanya alasan ku untuk memilih menolong dan merawat orang ini. Seperti Abi yang tak percaya begitu saja akan niat tulusku sebagai muslim yang ingin membantu sesama muslim. Tapi, terlepas dari itu semua. Kak Gian juga selalu membantuku merawat Fero bahkan memberikan pemahaman tentang Islam padanya.
Hal yang bisa aku pahami dari Fero adalah, keangkuhannya belum mampu untuk menerima dengan lapang dada atas apa yang dia mengerti tentang kesalahannya. Tapi luntur, perlahan aku yakin dapat lunturkan keyakinannya itu.
^ ^ ^
Kejadian itu udah berlalu 5 tahun yang lalu. Entahlah, kenapa belakangan ini terasa semakin dekat. Ku buka kembali goresan di diaryku. Fero, sebuah nama yang memiliki goresan sendiri dalam hidupku. Dan Setelah kejadian itu dia pergi. Mungkin tepatnya kami, Aku- Kak Gian- dan Fero. Kami memutuskan untuk menjalankan hidup masing-masing tanpa komuniksasi. Membiarkan takdir tuhan berjalan sebagaimana dia berjalan mempertemukan kami.
Kak Gian menemuiku 2 tahun setelah kejadian itu. Tak cukup sulit baginya untuk menemukanku. Dia memilih melupakan kejadian itu dan tetap menjadi seorang kakak bagiku. Dan Lusa resepsi pernikahan kak Gian akan diadain. Bakal kena omel abis-abisan kalau aku gak datang diacara itu. Maklumlah kakak angkat aku yang satu ini emang rada-rada ribet. Mana bisa dia jauh dari aku.hehe
^ ^ ^
Akhirnya aku bisa kembali ke Indonesia dengan gelar Doctor of Humaniora dari Universitas di Australia. Minum secangkir lemon tea setelah terbang memang pilihan paling jitu buat nyelamatin perut aku. ”Cafee Diamy”, pilihan aku saat ini. Ini tempat terakhir sebelum kami bertiga pergi. Tadi dibandara, entah kenapa aku seakan-akan melihat Fero disana. Agh, Paling itu Cuma halusinasi aku aja. Kangen. Jujur kangen juga, ingin rasanya bisa ketemu dia . . .  
Baru 2 jam lagi aku akan take off. Kak Gian dapat istri orang Aceh, jadinya aku bisa jalan-jalan ke Aceh. Jadi penasaran ngeliat kak Gian dipelaminan.
^ ^ ^
Kuperiksa handbag ku sekali lagi. Udah ketigakalinya sampai aku merasa tidak percaya bahwa diary ku tak ada disana.
Seseorang menyodorkan sebuah buku menu padaku, tapi . . .
Aneh, kenapa buku menu itu berwarna Orange. Tidak seperti biasanya, dan . . . mengapa aku seolah mengenalnya. Tepatnya bahkan aku seolah mengenal pembawa buku tamu ini. Apa ini halusinasi lagi????
Kuteguk sekali lagi lemon tea dingin ku. Memberikan ruang di rongga paru-paru ku untuk bernafas bebas. Orang itu duduk didepanku. Dia bukan Weiters, karena aku sudah memesan minuman sebelumnya. Dan buku itu, sepertinya diary ku, tapi orang ini . . . .
”Zeista Fadilla”
”.....”
Suara yang begitu kukenal. Memanggil namaku dengan nada yang nyaris tak berubah.
”memang takdir yang memberikan ruang untuk setiap kesabaran dan keikhlasan yang telah aku jalani. Kamu pernah bilangkan, bahwa jalan takdir Tuhanlah yang akan memberikan jawaban atas kita. Atas pertemuan yang tak terduga itu dan juga pertemuan kita kali ini.
Ini bukan sebuah kebetulan semata. Karena aku meyakini ini sebagai goresan takdir untukku”
Goresan senyum diwaja itu menyakinkanku akan siapa yang ada dihadapanku saat ini. Fero, Jeko Feroindra. Tak terungkapan rasa haru yang ku rasakan. Lima tahun sudah sejak kejadian itu. Dia berubah, berubah 1800 . Penampilannya rapi dan wangi, sama sekali berbeda disaat pertama kali melihatnya.
Dan hal yang paling membanggakan dari Fero saat ini adalah, dia berhasil menyelesaikan kuliahnya di Kairo. Dia berhasil meyakinkan dirinya atas apa yang terbaik untuk hidupnya. Mengubur segala kekelaman masa lalunya dengan keimanan dan keteguhan hati atas Zat yang Maha Sempurna.
Air mataku menetes tanpa komando, aku benar-benar tidak bermimpi. Aku sadar, dan aku bisa menjabat kembali tangan itu. Sampai 5 jam kemudian kami telah berada di Aceh. Merayakan kebersamaan kami lagi. Aku, fero dan kak gian, bersama istrinya tentunya.
Terimakasih Tuhan,
Segala rencanamu benar-benar indah. Dan itu menjadi benar-benar berharga setelah apa yang kami korbankan utuk meraihnya. . . .

Comments

Popular Posts